Pengamat Usul eks WNI ISIS Tetap Dipulangkan Sambil Diproses Hukum

Jakarta – Sejumlah akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyarankan pemerintah tetap memulangkan WNI eks kombatan ISIS atau foreign terrorist fighter sambil memproses mereka secara hukum.

Pasalnya, Indonesia diprediksi akan tetap jadi tempat pulang para WNI itu, secara legal atau tidak, dan malah berpotensi menebar teror karena tak terawasi.

Bacaan Lainnya

Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut pemerintah tak akan memulangkan WNI eks kombatan ISIS, namun hanya mempertimbangakan pemulangan anak-anak WNI itu.

Direktur Imparsial Al Araf menyebut pemerintah mestinya bisa memilah para WNI itu. Pertama, pemerintah hanya perlu memantau eks kombatan ISIS yang sedang mengikuti peradilan di negara yang menampungnya saat ini.

Kedua, pemerintah memulangkan WNI eks kombatan ISIS yang tak diproses hukum di negara lain dan memprosesnya secara hukum di Indonesia. Al Araf menyebut eks kombatan ISIS itu bisa saja dijerat dengan tindak pidana terorisme sepanjang ada bukti.

“Terhadap mereka yang tidak dalam proses hukum di negara tersebut, maka pemerintah dapat memulangkan WNI tersebut dan memproses secara hukum sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia,” tuturnya, di Jakarta, Selasa (11/2).

Al Araf menjelaskan hal yang perlu dihindari oleh pemerintah adalah dengan mencabut kewarganegaraan WNI tersebut. Hal itu akan membuat mereka kehilangan kewarganegaraan alias stateless.

“Statelessness berpotensi menimbulkan masalah baru bagi keamanan global,” tambah dia.

Terpisah, Ketua Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI) Yon Mahmudi juga mengatakan pemerintah mesti memulangkan para WNI itu sambil tetap memproses hukum.

Pemerintah, katanya, bisa melihat memilah berdasarkan rekam jejak keterlibatan para WNI itu dalam kelompok teroris. Hal itu bisa diketahui lewat pengiriman tim penilai ke lokasi penampungan para WNI itu.

“Jadi mereka yang [berkategori] tidak save ditempatkan pada tempat seperti tahanan Nusakambangan atau yang lain, yang memang harus dibatasi gerak mereka,” jelas dia.

“Kalau tingkat bahaya lebih kecil itu bisa masuk deradikalisasi BNPT, maka dia ikut deradikalisasi BNPT,” Yon menambahkan.

Senada dengan Al Araf, Yon menilai penelantaran oleh pemerintah potensial membuat ratusan WNI itu akan diambil kelompok lain yang lebih ekstrim dari ISIS.

Mereka pun, katanya, bisa saja menargetkan Indonesia karena telah mengabaikannya. Terlebih, tidak ada pengawasan dari pemerintah terhadap mereka.

“Sekarang kan posisinya tidak aktif, jangan sampai kebijakan yang salah membuat mereka aktif kembali, bergabung dengan kelompok yang sudah ada. Karena kita tidak tahu situasi setelah itu seperti apa,” katanya.

“Kalau dilepas oleh Turki (atau Suriah) kemudian bebas untuk pergi ke mana-mana, juga tanpa ada kontrol saya kira bahaya,” imbuhnya.

Tutup Kamp

Sekalipun pemerintah Indonesia menolak memulangkan ratusan WNI eks ISIS itu, Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI Muhammad Syauqillah menilai masih banyak jalan mereka kembali ke Indonesia.

Pertama, mekanisme deportasi. Pasalnya, Turki secara bertahap mulai menutup kamp pengungsian eks anggota ISIS. Saat ini, kata dia, enam dari 22 kamp pengungsian sudah ditutup.

“Maka Indonesia harus respons seperti apa kalau tiba-tiba Turki memberikan warga negara kita kembali ke Indonesia,” ungkapnya.

Kedua, para WNI itu kembali ke Indonesia melalui jalur ilegal. Apalagi, terdapat bisnis penyelundupan orang.

“Kemungkinan-kemungkinan mereka kembali dengan posisi kita tolak sekalipun, itu masih tetap ada. Pemerintah Indonesia harus siap dengan mekanisme-mekanisme di internal dan merespons situasi eksternal,” ujar Syauqillah.

Pemerintah Harus Tegakan Hukum

Sebaliknya Komnas HAM mempertanyakan langkah selanjutnya dari pemerintah usai memutuskan tak akan memulangkan WNI eks ISIS. Komnas HAM merasa pemerintah belum memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait nasib WNI yang tak dipulangkan itu.

“Kita malah jadi bertanya, setelah ini langkah pemerintah Indonesia apa? Kan nggak dijelaskan di situ, cuma tidak memulangkan. Katanya anak-anak dipertimbangkan untuk dipulangkan, kan gitu,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, kepada wartawan, Selasa (11/2/2020).

Taufan meminta pemerintah tegas dan jelas dalam penegakan hukum bagi para WNI eks ISIS ini. Sebab menurut dia, WNI eks ISIS ini bukan sekadar perkara pulang atau tidak pulang.

“Padahal menurut kita, pemerintah harus jelas, tegas, dalam proses penegakan hukum. Jadi pulang tidak pulang itu pilihan, tapi yang tidak bisa kita hindarkan kita harus melakukan penegakan hukum. Kenapa? Di dalam UU Terorisme, itu pasal 12 a. pasal 12 b, mengatakan sebagai contoh seseorang yang ikut di dalam satu organisasi terorisme itu tindak pidana, 12 b ada bagian di situ mengatakan bila seseorang disebut di dalam pelatihan atau merekrut, atau dia menjadi struktur pelatihan itu, itu juga diancam hukuman maksimal 19 tahun,” ujar Taufan.

“Pertanyaannya, kita melakukan tindakan hukum apa terhadap mereka? Ini nggak jelas, oke kita nggak pulangkan, apakah kita akan melakukan satu terobosan untuk mendukung misal Mahkamah Internasional, itu juga dimungkinkan,” ucap Taufan.

Taufan juga menyoroti sikap pemerintah yang belum clear soal nasib anak-anak WNI eks ISIS tersebut. Terlebih dari 600 eks ISIS itu disebutkan didominasi permpuan dan anak-anak.

“Cuma ada tidak memulangkan, tapi mempertimbangkan yang anak-anak. Ini yang menurut saya belum clear, mestinya pemerintah kita itu tegas dalam penegakan hukumnya, soal pulang enggak pulang, itu soal pilihan kedua, tapi dalam soal penegakan hukum itu tidak bisa tawar menawar, kita harus bisa penegakan hukum. Nggak boleh dong negara membiarkan ada pelanggaran hukum,” sambungnya.

Dia mendorong pemerintah untuk mendata para WNI eks ISIS tersebut selain penegakan hukum.

“Ya penegakan hukum, maka dari awal kami katakan profiling, yang kombatan, jangankan dia kombatan ISIS melakukan teror, jadi anggota saja itu pidana, kalau dia melatih atau dia ikut pelatihan dia diancam hukuman maksimum 15 tahun. Nah untuk yang seperti ini diapakan? Dua kemungkinannya, proses hukum di nasional kita, bukan dipulangkan, kita tangkap bawa kemari, masyarakat kita itu kata pemulangan itu seolah-olah ini akan melanggang kangkung di Indonesia, sehingga orang takutkan, padahal bukan, dibawa ke Indonesia itu diadili, dipenjara,” imbuhnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait