Polemik Pemakaian Baju Adat Bangsawan Nias ke Asmin Patros, Ini Penjelasan Fisman F. Gea

Tokoh Masyarakat Nias di Kota Batam, Fisman F Gea. Foto dokumen
Tokoh Masyarakat Nias di Kota Batam, Fisman F Gea. Foto dokumen

Detak News, BATAM – Pemakaian Baru Oholu Bangsawan atau baju adat Leluhur Nias ke Anggota DPRD Provinsi Kepri, Asmin Patros masih menjadi perdebatan dan terkesan menjadi bulian terhadap tokoh politisi senior Partai Golkar Kepri ini, meski kegiatan tersebut sudah selesai beberapa waktu lalu.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa perdebatan panjang tersebut mencuat karena pemakaian Baru Oholu Bangsawan itu dilakukan oleh Pendeta Joel Perubahan Nduru yang diduga dilakukan di Gereja dan tanpa melalui kesepakatan Warga dan persetujuan tokoh-tokoh Masyarakat Nias.

Bacaan Lainnya

Menanggapi hal tersebut, Tokoh Masyarakat Nias Kota Batam, Fisman F. Gea mengatakan bahwa seharusnya hal tersebut jangan menjadi perdebatan panjang apalagi terkesan menyudutkan Bapak Asmin Patros.

“Jangan kita menyudutkan apalagi menyalahkan Bapak Asmin (Asmin Patros, red) sebab beliau sendiri hanyalah tamu yang di undang di acara tersebut, terlebih tidak tau persis apakah yang memakaikan baju adat tersebut orang yang tepat atau bukan,” ungkap Fisman F. Gea ke media ini memberikan penjelasan atas perdebatan tersebut.

“Bahkan dalam kacamata saya, Bapak Asmin hanyalah korban dalam perdebatan ini,” terang Fisman F. Gea mantan Anggota DPRD Batam ini.

Hal kedua yang menjadi perdebatan, lanjut Tokoh Sentral Ikatan Keluarga Besar Sumatera Utara (IKABSU) ini, karena Bapak Asmin Patros Anggota DPRD Provinsi Kepri yang juga Calon Legislatif (Caleg) 2024 dari Partai Golkar tersebut seakan akan dianggap melakukan aktivitas politik di Gereja, tempat yang seharusnya bebas dari aktivitas politik, saya bisa pastikan bahwa beliau sebagai politisi senior paling paham aturan dan hukum beliau tidak akan menggunakan sarana ibadah untuk berpolitik tak akan mungkin melakukan kesalahan sebagaimana yang dituduhkan.

Menurut Fisman F. Gea, ia sependapat dengan banyak pihak bahwa Gereja sesungguhnya adalah untuk beribadah tempatnya kudus dengan tujuan memuji dan memuliakan Tuhan Allah yang Maha Kuasa, bukan tempat untuk melakukan acara adat.

Namun demikian menurutnya, dalam konteks tersebut Anggota DPRD Kepri tersebut hanyalah tamu kehormatan, bukan panitia. Sehingga menurutnya kalau dinilai prosesi pemakaian baju adat tersebut sebagai bagian dari aktivitas politik, seharusnya tamu jangan dipersalahkan karena mereka bukan bagian dari penyelenggara kegiatan dan tidak mengendalikan lalu lintas acara.

Bahkan menurut Ketua DPD LCKI Kepri ini, bahwa Hukum Adat Nias terkenal dengan sebutan Fondrakő yang ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Nias dengan sanksi berupa kutuk dan sanksi hukum adat bagi yang melanggarnya.

Masih kata Fisman F. Gea, bahwa salah satu tata cara pemberian tanda kebesaran ONO NIHA Nias kepada pihak lain harus melalui musyawarah, penetapan, dan pengesahan serta persetujuan keturunan bangsawan (SI ULU atau BALUGU).

Sepengetahuan Fisman F. Gea, bahwa ada Dua Orang yang sudah orang Nias Nobat kan sebagai Warga Nias dari Suku Lain yaitu Bapak Bahrum Sebagai Marga Daeli dan Bapak Go Irawan Sebagai Marga Zebua pada tahun 90an tentu ada dasar-dasar dan pertimbangan tertentu dan melalui kesepakatan Warga dan Tokoh – tokoh Masyarakat Nias yang ada pada saat itu.

Dan tidak dipakaikan baju adat Nias hanya Rompi adat Nias dan kemudian yaitu Bapak Surya Respationo pada saat acara HUT Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (HIMNI) di Gedung Tumenggung Abdul Jamal dan itu sudah jelas Hajatan Masyarakat Nias se-kota Batam.

“Saya hanya ingin memberikan pemahaman bagi kita semua, agar perdebatan ini tidak berkepanjangan dan tidak menyudutkan apalagi mempersalahkan tamu undangan di acara tersebut,” pungkasnya. (ays)

Pos terkait