Tersebab Pers Sedang Tak Baik-baik Saja, Catatan HPN 2023 Medan

Detak News, MEDAN – “Tersebab Pers tidak baik-baik saja” sepenggal kalimat Presiden RI Ir H Joko Widodo, ketika menyampaikan kata sambutan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2023 di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/2).

Saya mencermati kalimat demi kalimat yang disampaikan presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya pada bulan Oktober 2024 itu. Juga tone yang diucapkan. Ada nada prihatin, ada penekanan, sekaligus juga harapan.

Bacaan Lainnya

“Sudah saatnya sekarang, semua kalangan, baik swasta maupun pemerintah membantu media arus utama (mainstream) untuk terus berkembang menjadi sehat dan profesional,” ucapnya. Alasan Presiden, saat ini 60 persen omset iklan sudah nyeberang ke media digital multiplatform milik perusahaan asing.

Oleh sebab itu, Presiden meminta kepada Kementerian Kominfo untuk segera menyelesaikan perpres berkaitan dengan sharing pendapatan sebagai publisher right (hak penerbit). Maksudnya, agar media mendapatkan revenue share dari publikasi yang mereka produksi namun tampil di multiplatform digital.

Saya mencoba menelaah ucapan Presiden. Beliau mengatakan, alasan bahwa media arus utama harus mendapat perhatian, disebabkan sudah terlalu banyak disinformasi berseliweran di ruang-ruang publik oleh media sosial (medsos) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Banyak produksi hoax (informasi bohong) masuk ke ruang-ruang publik. Namun Presiden meyakini, pada saatnya masyarakat akan kembali ke media arus utama untuk mendapatkan kebenaran informasi. Karena itu, media mainstream seyogianya menjadi rumah penjernih informasi (information clearence house).

Anda mungkin masih ingat, betapa masyarakat terbelah oleh politik dan pilihan politik saat Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta sebelumnya. Aneka informasi dengan berbagai bumbu masuk ke ruang-ruang publik. Bahkan ke kamar pribadi. Masyarakat mudah sekali menerima informasi yang sebagian besar bersumber dari medsos. Bahkan tak jarang juga dari media mainstream.

Mudahnya pribadi “menjadi jurnalis/pewarta” menurut definisi mereka sendiri, menambah kusutnya situasi. Padahal pers tidaklah sesederhana itu. Misalnya, jika menulis saja masih salah atau tak bisa menempatkan titik atau koma, jangan mengaku sebagai wartawan. Sebab itu, wartawan harus divalidasi, salah satunya melalui uji kompetensi, sehingga kelak layak sebagai wartawan kompeten.

Inilah tugas Dewan Pers untuk tetap mengawal profesionalisme wartawan dan kelayakan media melalui rangkaian uji kompetensi (untuk wartawan) dan verifikasi (untuk perusahaan media). Tapi juga, Dewan Pers tidak perlulah masuk mengatur hal teknis, misalnya soal teks foto atau jumlah awak media berasuransi. Dewan Pers (mestinya) terlalu besar untuk mengatur hal-hal kecil seperti itu.

Bagaimana mungkin, misalnya, ketika media yang saat ini hampir sempoyongan dikepung oleh medsos dan disrupsi, namun di saat yang sama, Dewan Pers malah mempersulit “keluarganya” sendiri? Benar bahwa aturan harus ditegakkan, tapi tak harus ditegakkan sampai patah. Percaya saja pada seleksi alam, bahwa media yang paling akurat, inovatif, dan profesional-lah yang akan bertahan dan yang lain akan tumbang.

Terkait kerisauan banyak pihak tentang bahaya hoax politik, ke depan, khususnya menjelang Pilpres 2024, pembelahan masyarakat yang disebabkan oleh disinformasi, tidak boleh lagi terjadi. Terlalu besar pertaruhannya bagi persatuan bangsa.

Di sisi lain, pemerintah sebagai regulator teknis sekaligus eksekutor, pun tak boleh mengintervensi media. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 bersifat lex specialis (khusus) dan self regulation (mengatur dirinya sendiri).

Kebebasan atau Kesejahteraan?

Ketua Umum PWI Atal S Depari, mengaku masih risau dengan kebebasan pers atau pekerja pers yang masih mendapat ancaman di mana-mana. Begitu juga dengan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, yang merasa yakin bahwa pers yang bebas mengkritik adalah pers yang membantu setiap pejabat untuk memperbaiki kinerjanya.

Terkait soal ancaman terhadap pekerja pers, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, mengakui bahwa Dewan Pers punya banyak data tentang kekerasan fisik bahkan kekerasan seksual terhadap wartawan perempuan. Di lain sisi, tidak boleh ada kriminalisasi terhadap pekerja pers yang menjalankan profesinya.

Presiden sepertinya punya jawaban menangkis soal kebebasan pers. Dalam sambutannya, dia mengatakan bahwa saat ini isyu pers di Tanah Air bukan lagi soal kebebasan. “Kurang bebas apa pers kita saat ini?” katanya. Dia mengaku, meski setiap hari pemerintahannya dikritik oleh pers, namun pers pula yang telah mengantarkan dirinya dari orang biasa hingga menjadi presiden.

Justru, menurutnya, isyu yang lebih relevan adalah soal tanggung jawab pers itu sendiri. Tanggung jawab memelihara persatuan bangsa sekaligus tanggung jawab terhadap kelangsungan usaha dan kesejahteraan karyawannya.

Pernyataan Presiden itu setali tiga uang dengan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Dia mengungkapkan, saat ini yang paling penting adalah bagaimana pers menjamin kesejahteraan karyawannya.

Menurutnya, jika pers ingin sehat secara keuangan, maka tidak boleh hanya mengandalkan kerjasama dengan pemerintah. Tidak boleh bergantung 100 persen kepada pihak lain. Pers harus melakukan inovasi, beradaptasi dengan digitalisasi, namun tidak boleh mengorbankan independensi.

Begitulah. Pers memang harus beradaptasi. Sebab disrupsi (gangguan) yang juga terjadi pada dunia pers saat ini tidak bisa dihindari. Bahkan pekerja pers hari ini bukan lagi generasi lawas yang terbiasa bekerja dengan mesin tik tua atau program WS tempo dulu. Generasi milenial telah mengambil-alih, karena merekalah yang lebih paham dengan selera audiens (pembaca/penonton) hari ini.

Pihak Google Asia sendiri membenarkan bahwa ada banyak benefit yang diperoleh media berita dari kemitraan dengan Google. Mereka telah “membina” lebih kurang 560 media lokal yang kebanyakan dikelola oleh generasi baru.

Begitulah pengakuan Google Indonesia melalui Yos Kusuma, News Partnerships Indonesia Lead, saat menjadi narasumber Konvensi Media Massa Nasional hari kedua HPN Medan. Yos ini adalah teman seangkatan saya saat mengikuti IVLP (International Visitor Leadership Programe) Amerika batch 2009.

Akhir kata, pers arus utama masih diharapkan sebagai penjernih informasi, namun pers yang hidup di “zaman now” juga tidak bisa lepas dari digitalisasi dan multiplatform global. Jika tidak, maka siap-siaplah untuk tetap “kerdil” karena produk beritanya “paling banter” hanya menyebar lewat grup-grup whatsapp belaka. ***

*) Penulis adalah Ketua PWI Kepri dan praktisi media.

Pos terkait